Ketika petugas konter mengatakan bahwa tiket KA Yangon-Mandalay kelas upperclas sudah habis, saya hanya bisa membayangkan bakal tersiksanya duduk di bangku kayu dalam perjalanan sepanjang 700 kilometer. Mungkin kalau beli dari kemarin tidak akan kehabisan, keluh saya mengutuki sikap menunda-nunda yang sering melekat ini. Bila demikian halnya, berarti saat tiba di Mandalay sebaiknya langsung membeli tiket untuk pulang ke Yangon agar tak kebagian duduk di kelas ordinary lagi. Tiketnya memang murah tak sampai 50 ribu rupiah, namun untuk duduk di bangku kayu selama 14 jam ..waduh.. masa-masa itu sudah lama berlalu.
Tiket kereta rute Yangon-Mandalay ini ada tiga jenis, yaitu ordinary class, upperseat dan upper sleeper. Yang paling murah adalah ordinary clas, berupa tempat duduk berhadapan dengan bangku dari kayu, sementara upper seat mirip kelas bisnis disini (masih ada gak sih?) dan upper sleeper berupa kompartemen dengan ranjang bertingkat. Semuanya tanpa AC, hanya kipas angin di atap gerbong yang sayup-sayup mengalun. Walau tiket ordinary ini yang paling murah, namun justru yang paling saya hindari dengan alasan kenyamanan. Sementara harga tiket upper seat dua kali lipat dari tiket ordinary, dan upper sleeper tiga kali lipatnya.
Suasana berkereta api di Myanmar mirip dengan kondisi di tanah air 1990-an, dimana pedagang bebas keluar masuk menjajakan makanan. Setidaknya itulah yang saya alami dulu. Di kelas ordinary ini masih terlihat beberapa penumpang yang tak kebagian duduk, hingga duduk di lantai gerbong. Namun kondisi ini tak terlihat di kelas upper seat. Berkelebat bayangan berkereta api dulu masa-masa tahun 90-an.
Kebiasaan disini yang tak kalah unik adalah selalu membiarkan jendela kereta terbuka. Mungkin selain agar udara berangin juga supaya gampang membuang sisa sirih yang dikunyah. Seperti diketahui kebiasaan penduduk Myanmar mengunyah sirih sudah mendarah daging sehingga harus dimaklumi bila mereka meludah keluar jendela. Alhasil, hampir semalaman tubuh terhembus angin malam selama di kereta. Baru lewat tengah malam mereka menurunkan kaca penutup jendela. Lalu bagaimana membuang sisa sirihnya? Rupanya mereka cukup sopan dengan meludahkannya ke cangkir yang dibawa. Bagi yang kurang nyaman melihatnya, sedikit tips lebih baik tidur saja sepanjang perjalanan.
Setelah berangkat tepat pukul lima sore sesuai jadwal, kereta dari Yangon tiba di Mandalay sekitar pukul delapan pagi setelah menempuh perjalanan selama 716 kilometer. Udara dingin segera terasa, berbeda dengan cuaca Yangon yang panas. Perlu beberapa saat untuk beradaptasi agar tak menggigil. Entah karena cuacanya sedang muram saja barangkali.
Stasiun kereta Mandalay merupakan bangunan baru, berbeda dengan Yangon Railway Station yang merupakan peninggalan kolonial Inggris. Platform kereta berada dibawah jadi kita naik tangga untuk keluar dari peron. Sebuah hotel menempel pada samping stasiun, tampaknya merupakan sebuah bangunan yang terintegrasi dengan stasiun. Keberadaan hotel ini sepertinya membidik konsumen pengguna kereta api.
Sesuai rencana untuk membeli tiket pulang lebih awal, saya segera menuju loket penjualan tiket hanya untuk melongo melihat tulisan berbahasa Myanmar yang mirip ukiran itu. Bagusnya, selalu ada petugas yang bisa berbahasa Inggris di loket. Namun loket yang mana karena banyak loket yang buka.
Ketika sedang memperhatikan loket, tiba-tiba seorang pengojek menyapa. “ Motobike?” tanyanya sambil menggunakan gerakan tangan seperti sedang mengendarai motor.
Hemm kebetulan, biar tukang ojek ini saja yang jadi pusat informasi. “Where to buy tiket to Yangon?” tanya saya sambil menunjukkan contoh tiket kemarin.
“Yangon?” tanyanya.
“Yes.”
Ia lalu berjalan sambil memberi isyarat agar mengikutinya, sempat ragu takut diantar ke calo namun ternyata benar saja ia mengantar ke loket yang dimaksud. Lalu cas cis cus sebentar dengan petugas konter, keluarlah tiket untuk kembali ke Yangon yang berkelas upperseat. Legalah, kini bisa leluasa melihat-lihat kota Mandalay tanpa memikirkan duduk di bangku kayu lagi.